Saturday, June 11, 2011

Abdurrahman Al-Ghafiqi (Panglima Perang di Balath Syuhada)

Seorang sastrawan Inggris, Southy, menuliskan tentang pasukan Islam yang menyerbu daratan Eropa setelah menguasai Andalusia, dia berkata:


“Banyaknya pasukan tidak terhitung jumlahnya, ada yang dari suku Arab Barbar, Romawi, Persia, Qibti, Tartar,…semua berkumpul di bawah satu panji, disatukan oleh panglima yang agung. Kekuatannya tangguh, semangatnya bergelora seperti api dan rasa persaudaraannya begitu mengagumkan, tak membeda-bedakan sesama manusia.

Dalam jiwa pemimpin dan yang dipimpin tertanam tekad yang bulat untuk berjuang. Mereka optimis akan kekuatannya yang tak terkalahkan, dan yakin bahwa pasukannya tak akan menemukan kesulitan. Optimis bahwa setiap langkah akan diikuti oleh kemenangan. Mereka terus maju dan maju hingga dunia Barat takluk pada dunia Timur, tertunduk menghormati nama Muhammad saw.

Orang-orang dari kutub yang penuh dengan pegunungan es yang dingin membeku datang jauh-jauh untuk melaksanakan haji. Melintasi sahara dengan kaki talanjang dengan penuh iman, berjalan di gurun pasir yang panas di Arab, berdiri di atas terjalnya bebatuan di Makkah.”

Memang, apa yang Anda katakan tidak jauh dari kenyataan. Khayalannya pun tidak meleset. Prajurit yang dipimpin oleh para mujahidin itu memang ingin membebaskan nenek moyang Anda dari kegelapan jahiliyah, seperti yang Anda sebutkan.

Ikut serta dalam pasukan tersebut orang-orang Arab yang perkasa. Allah telah membangkitkan mereka dan membimbing mereka untuk mendatangi kalian dari Syam, Hijaz, Najd, Yaman dan pelosok-pelosok jazirah Arab, menggulung segala sesuatu laksana badai. Mereka disertai pula oleh orang-orang Barbar yang bangga akan keislamannya, yang turun dari pegunungan Atlas, menyapu bagaikan air bah. Juga orang-orang Persia, yang telah terlepas dari belenggu paganisme kaisar-kaisarnya dan masuk ke dalam agama tauhid, jalan yang lurus. Tak ketinggalan pula orang-orang Romawi, pembelot menurutmu, memang mereka membelot dari kezhaliman dan kegelapan menuju cahaya terangnya langit dan bumi dan menerima hidayah menuju agama yang suci. Kemudian orang-orang Qibti, yang bebas dari perbudakan dan belenggu yang mencekik leher, beralih kepada kehidupan yang bebas merderka di bawah panji Islam, kembali suci seperti saat dilahirkan ibunya.

Tepat sekali, memang pasukan pimpinan Abdurrahman Al-Ghafiqi maupun para penghulunnya datang untuk melepaskan nenek moyang kalian dari belenggu jahiliyah. Di antara mereka ada yang berkulit putih, hitam, Arab, dan Ajam (non-Arab). Tapi mereka bersatu dalam Islam. Nikmat Allah menjadikan mereka bersaudara. Semangat mereka seperti yang engkau sebutkan adalah untuk memasukkan orang-orang Eropa ke dalam agama Allah sebagaimana orang-orang di belahan bumi bagian Timur dan Afrika. Sehingga umat manusia seluruhnya tunduk kepada Allah, pencipta alam semesta.

Dengannya cahaya Islam akan menyinari dataran dan lembah kalian, mataharinya memancar di setiap rumah kalian dan keadilan tegak di antara rakyat dan penguasa kalian. Mereka bertekad mengorbankan nyawa mereka yang berharga untuk membimbing kalian ke jalan Allah dan menyelamatkan kalian dari api neraka.

Sekarang marilah kita ikuti akhir perjalanan pasukan Islam dan panglimanya yang agung, Abdurrahman Al-Ghafiqi.

Kabar tewasnya Utsman bin Abi Nus’ah dan nasib putrinya yang jelita, Minin, mengejutkan Duke Octania. Dia sadar bahwa genderang perang telah ditabuh. Cepat atau lambat singa Islam, Abdurrahman Al-Ghafiqi akan menyerbu kapan saja, tak peduli siang atau malam.

Kaisar Duke Octania segera mempersiapkan diri untuk mempertahankan setiap jengkal wilayahnya. Hanya saja bayang-bayang buruk selalu menghantuinya. Dia khawatir akan menjadi tawanan kaum muslimin seperti putrinya yang kini dikirim ke Syam. Dia takut kepalanya akan dipenggal kemudian ditaruh di atas talam dan diarak keliling kota seperti Loderik, raja Andalusia dahulu.

Dugaan Duke Octania tepat, tiba-tiba Abdurrahman Al-Ghafiqi benar-benar datang bersama pasukan yang luar biasa besarnya, menyerbu dari Spanyol utara bagai gelombang pasang dan turun ke wilayah Prancis selatan dari pegunungan Pyerenees laksana air bah. Prajuritnya mencapai 100 ribu orang dan setiap batalyonnya didampingi oleh prajurit-prajurit pilihan yang bertubuh tinggi besar.

Prajurit Islam masuk melalui kota Arles yang terletak di tepi sungai Rhone. Pertimbangannya adalah karena kota ini terikat perjanjian damai dengan muslimin dan telah menyetujui kewajiban membayar jizyah. Namun ternyata, setelah gubernur As-Samah bin Malik Al-Khaulani gugur di Toulouse dan kekuatan muslimin melemah, mereka melanggar perjanjian dan menolak membayar jizyah.

Kedatangan Abdurrahman Al-Ghafiqi dan pasukannya di perbatasan Azil, disambut oleh pasukan besar yang disiapkan oleh Duke Octania untuk menghambat gerak maju pasukan Islam. Dua kekuatan berhadapan. Perang besar tak terelakkan lagi.

Pasukan pertama yang dikerahkan Abdurrahman Al-Ghafiqi adalah pasukan khusus yang lebih mencintai mati daripada kecintaan musuh terhadap kehidupan. Mereka berhasil menggoyahkan dan memporak-porankan barisan musuh. Pertempuran terus merambat ke dalam kota. Pedang-pedang berkelebat membabat kiri-kanan. Pasukan Islam mendapatkan hasil ghanimah di luar perhitungan.

Namun sayang, Duke Octania berhasil meloloskan diri dari medan beserta sisa-sisa pasukannya. Sehingga dia masih menyimpang potensi bersiap-siap menyongsong pertempuran selanjutnya, sebab dia sadar bahwa pertempuran di Arles baru awal dari suatu perang yang panjang.

Bersama pasukannya, Abdurrahman Al-Ghafiqi menyeberangi sungai Garonne. Kemenangan demi kemenangan mereka raih. Satu demi satu kota-kota Octania dapat direbut melalui pasukan kavelerinya, seperti daun-daun yang berguguran diterpa angin. Ghanimah makin menumpuk hingga mencapai jumlah yang belum pernah dijumpai sebelumnya.

Duke Octania berusaha membendung pasukan Islam untuk kedua kalinya dengan mempersiapkan suatu pertempuran besar. Namun kali ini pun pasukan Islam mampu mengatasinya. Mereka menghajar dan meluluh lantakkan pasukannya. Duke Octania kembali lolos meninggalkan pasukannya yang kocar-kacir. Banyak yang gugur, tidak sedikit yang tertawan dan ada pula yang lari dari medan perang.

Target serangan berikutnya adalah Bordeaux, kota terbesar di Prancis pada waktu itu sekaligus merupakan ibukota Octania. Perang untuk memperebutkan Bordeaux tak kalah serunya dengan peperangan yang telah lalu. Sistem pertahanannya tentu lebih kokoh. Tapi dengan perjuangan yang tak kenal lelah, kota besar ini dapat direbut oleh pasukan Islam seperti kota-kota lainnya. Para panglima musuh gugur sebagaimana teman-teman yang telah mandahului mereka.

Banyak sekali harta ghanimah yang diperoleh dalam perang ini. Tapi yang lebih penting adalah jatuhnya Bordoeaux merupakan kunci pembuka kota-kota penting di Prancis lainnya, seperti Lyon, Besancon dan Sens sehingga posisi pasukan Islam saat itu tinggal seratus mil saja dari Prancis.

Dunia Eropa tersentak mendapati bahwa Prancis Selatan telah takluk di tangan Abdurrahman Al-Ghafiqi dalam waktu beberapa bulan saja. Maka dunia Barat terbuka akan bahaya besar yang menghadang mereka.

Anjuran partisipasi menggaung di seluruh penjuru Eropa. Setiap orang, mampu atau tidak, diharapkan partisipasinya untuk membendung arus timur yang deras itu. Bila tak mampu membendung dengan pedang, hendaknya menahan dengan dadanya. Bila senjata habis hendaknya jalanan ditutup dengan tubuh mereka. Eropa bangkit menyambut seruan itu. Orang-orang berdatangan dari dari segala penjuru dengan membawa apa saja yang bisa digunakan, batu-batu, kayu, duri dan pedang. Mereka bersatu padu di bawah komanda Karel Martel.

Dalam waktu yang bersamaan, pasukan muslim telah tiba di Tours, kota Prancis padat penduduknya dan menyimpan bangunan-bangunan tua yang indah. Kota ini bangga dengan gereja-gereja besarnya yang terindah di seluruh Eropa dan berisi penuh kekayaan yang tak ternilai harganya. Prajurit Islam mengepung melingkar layaknya kekang kuda yang melingkari leher kuda. Mereka siap berkorban nyawa untuk merebut kota ini. Dan benar, Tours jatuh di depan mata dan pendengaran Karel Martel.

Akhir bulan Sya’ban 104 H Abdurrahman Al-Ghafiqi bersama pasukannya yang gagah perkasa memasuki kota Poiters. Mereka disambut oleh pasukan besar Eropa yang dipimpin oleh Karel Martel. Perang dahsyat antara kedua pasukan itu tidak hanya tercatat dalam sejarah Islam dan Barat saja, melainkan juga dalam sejarah umat manusia. Pertempuran itu dikenal dengan nama Balath syuhada, karena banyaknya prajurit Islam yang syahid.

Ketika pasukan Islam benar-benar dalam puncak kejayaan yang gemilang. Namun sayang, punggung-punggung mereka terlalu berat memikul hasil ghanimah yang melimpah ruah. Abdurrahman Al-Ghafiqi menyaksikan itu dengan sedih dan khawatir. Beliau mengkhawatirkan kondisi pasukan. Bagaimana bisa tenang sementara hati dan pikiran para prajuritnya mulai beralih kepada harta benda itu? Di saat-saat menentukan justru jiwa mereka terbagi, sebelah mata memandang musuh dan sebelah lagi melirik harta-harta ghanimah.

Ingin sekali Abdurrahman Al-Ghafiqi menganjurkan pasukannya untuk melepaskan diri dari ghanimah yang bertumpuk-tumpuk itu. Tapi mereka sangsi apakah mereka bisa menerima keputusan itu dengan senang hati. Maka tak ada jalan lain kecuali beliau harus mengumpulkan seluruh ghanimah di dalam tenda-tenda yang difungsikan sebagai gudang. Lalu diletakkan di belakang markas sebelum perang berkorbar.

Dua pasukan yang sama besarnya mengambil posisi berhadapan. Beberapa hari suasana terasa tegang. Diam dan penuh selidik, seperti dua gunung besar. Masing-masing mengukur kekuatan lawan dan berpikir seribu kali untuk memilih saat yang tepat untuk menyerang.

Waktu demi waktu berlalu, Abdurrahman Al-Ghafiqi melihat semangat pasukannya mulai menyala. Sepertinya kemampuan mereka dapat diandalkan dan optimis untuk menang. Maka beliau memutuskan agar pasukan Islam lebih dahulu menyerang.

Abdurrahman Al-Ghafiqi mulai menerobos pertahanan Barat dengan pasukannya laksana singa yang menerjang dengan ganas. Pihak Barat bertahan seperti benteng yang kokoh. Pertempuran berkecamuk sehari penuh dan belum terlihat tanda-tanda kemenangan pada salah satu pihak. Seandainya tak terhalang oleh gelapnya malam, niscaya mereka tak akan berhenti bertempur.

Memasuki hari kedua, pertempuran kembali berkobar. Pasukan Islam menyerang dengan gagah berani dan tekad yang kuat, namun pertahanan Barat belum pula tergoyahkan.

Perang berlangsung hingga tujuh hari berturut-turut dengan dahsyat. Pada hari kedelapan, sedikit demi sedikit barisan musuh mulai terkoyak. Harapan menangpun mulai terbayang. Laksana semburat cahaya fajar di pagi hari. Namun dalam waktu yang sama, sekelompok prajurit Barat menyerang tempat penyimpanan harta ghanimah dan menguasai hampir seluruhnya dengan mudah. Melihat hal itu, pasukan Islam mulai goyah. Sebagian besar dari mereka mundur ke belakang untuk menyelamatkan harta ghanimah tersebut hingga merusak pertahanan barisan depan.

Dengan gigih panglima besar Abdurrahman Al-Ghafiqi berusaha mencegah para prajuritnya surut ke belakang, sambil terus menahan arus serangan dari depan dan menutupi celah-celah yang lemah. Dia bergerak cepat kesana kemari dengan kudanya yang perkasa. Di saat itulah sebatang panah mengenai tubuhnya sehingga dia terjatuh dari kuda seperti seekor elang yang terjatuh dari puncak gunung. Maka terwujudlah syahid di medan perang yang didambakannya.

Akan halnya dengan pasukan Islam, melihat panglimanya gugur, mereka semakin berantakan, sedangkan musuh kian bersemangat merangsak ke depan. Tak ada yang mampu menghentikan keganasan mereka selain malam yang mulai merayap.

Pagi harinya Karel Martel mendapati pasukan Islam sudah mundur dari medan perang Poiters. Namun dia tidak berani mengejar. Padahal seandainya dia mengejarnya pastilah dia akan berhasil menghancurkan pasukan muslimin. Dia mengira bahwa gerakan mundur pasukan Islam disengaja untuk memancing mereka ke luar medan terbuka. Ia mengira itu merupakan strategi baru muslimin yang direncanakan malam sebelumnya. Maka Karel Martel memilih untuk tetap di tempat dan merasa cukup dengan membendung kekuatan yang membahayakan itu, lalu menikmati kemenangan yang diraihnya.

Balath Syuhada menjadi peristiwa monumental dalam sejarah. Di hari itu kaum muslimin telah menyia-nyiakan kesempatan emas yang terbuka lebar, bahkan kehilangan seorang pemimpin besar dan pahlawan yang tangguh bernama Abdurrahman Al-Ghafiqi. Peristiwa itu laksana ulangan tragedi Uhud yang memilukan.

Begitulah, semuanya telah menjadi sunnatullah terhadap hamba-hamba-Nya, tak ada yang kuasa merubah atau menggantinya.

Kabar kekalahan di Balath Syuhada menjadi tamparan yang menggoncangkan kaum muslimin di segenap pelosok. Duka dan pilu melanda setiap desa dan kota, memasuki setiap rumah Islam. Luka itu hingga kini masih terasa pedihnya, dan akan tetap diingat selagi masih ada seorang muslim yang ada di permukaan bumi ini. Tapi jangan Anda sangka tragedi itu hanya menyedihkan kaum muslimin saja. Orang-orang Barat yang berakal sehat pun merasakan demikian. Bagi mereka, kemenangan nenek moyang mereka atas kaum musimin di Poitiers merupakan musibah besar bagi umat manusia, khususnya merugikan Eropa dalam mencapai kemajuan.

Sebagai bukti dari pencapaian golongan ini, marilah kita simak komentar tentang kekalahan kaum muslimin di Balath Syuhada, oleh pemimpin redaksi majalah “Review Parlementer” yaitu Henry de Syambon, “Kalau saja bukan karena kemenangan pasukan Karel Martel atas pasukan Islam di Prancis, tentu negara kita tidak perlu tenggelam dalam kegelapan kebodohan pada abad pertengahan. Tidak akan seburuk itu. Dan kita juga tidak perlu mengalami pembantaian besar-besaran yang didasari oleh fanatisme sekte-sekte agama. Benar. Seandainya tidak karena kemenangan Barat pada waktu itu, Spanyol akan bisa hidup dalam kearifan Islam yang murni, selamat dari kekejaman badan-badan intelijen dan tidak terlambat menerima arus kejamuan sampai delapan abad. Meski ada perbedaan rasa dan pandangan tentang kemenangan itu, yang jelas kita benar-benar berhutang budi pada kaum muslimin akan kemajuan ilmu, seni dan budaya luhur yang mereka bawa. Kita harus mengakui bahwa kaum muslimin adalah teladan tentang kemanusiaan yang sempurna di saat kita dahulu masih menjadi manusia Barbar yang ganas.”

Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 338-348.

No comments:

Post a Comment


Related Posts with Thumbnails